Kamis, 03 November 2011

[OPINI]Suatu malam di sebuah warkop

Malam itu Surabaya gerah sekali! Bahkan dua buah kipas angin di kamar yang tak kenal lelah mengalirkan udara dingin ke dalam kamar pun tak mampu mengusir gerah. Akhirnya niat pun dibulatkan, mari berangkat ke warkop, sekalian break mengerjakan tugas, yang lumayan membuat mata saya berkunang-kunang, hehe.
Akhirnya dengan bersepeda, sampailah saya pada warkop favorit tempat saya biasa menghabiskan bergelas-gelas es teh jumbo, demi mendinginkan badan dari udara panas malam di Surabaya. Segelas, dua gelas sudah habis tandas di depan saya, samar saya dengarkan obrolan tiga orang yang duduk di samping saya. Ketiganya berkepala pelontos. Saya tau sepertinya mereka ini selesai melakukan apa. Dari pakaian hitam putih, kepala pelontos dan bau keringat yang menyengat, haha, habis ospek ni kayanya. Akhirnya dengan sengaja saya nguping pembicaraan mereka. Meski memakai bahasa Jawa logat Soroboyoan yang kental, saya artikan saja di sini...
A : "Bro, untung tadi ga disuruh lari lagi...asmaku udah mo kumat lagi...Untung dah!!"
B : "Masak sih si F tu ga percaya ama omongan lu?! Nunggu dia liat lu sesak ga bisa napas kali biar dia percaya!"
A : "Gw dah bilang, udah disemprot duluan...cuma gara2 ga permisi dulu..."
C : "Udah, ikutin aja. Paling kalo lu asma juga dia yang repot. Sukurin aja dia angkat badan lu segede gini.Haha!"
A : "Sialan lu, tega ya liat temen menderita. Kalo ketemu di jalan juga sok-sokan tuh orangnya, mana jalannya diwibawa-wibawain lagi...haha. Aneh gw ngeliatnya!"

Iseng-iseng saya nanya, "Dik, jurusan apa?" tapi dijawab dengan pandangan takut dan penuh curiga ke saya. Akhirnya, saya pun alihkan pembicaraan, dengan meminjam korek buat nyalain rokok saya. Malas saya melanjutkan obrolan yang suasananya ga enak tadi..hihi.
Hmm, jadi gini ya? Output kegiatan yang mereka ikuti. Respek yang mereka berikan pun hanya berlaku pada saat acara berlangsung saja, di luar itu nilainya nol. Satu lagi, saya jadi mikir. Kalo emang bener salah satunya asma dan kumat, trus dikira main-main, akhirnya fatal (soalnya istri saya juga mengidap asma) siapa yang bertanggung jawab? Senior? Lembaga? Orang tua si A tadi? Saya yakin kalau saya jadi orang tua si A, saya akan cari seniornya, saya bawa ke kantor polisi, dengan sepengetahuan lembaga, saya laporkan dengan pasal "Tindakan tidak menyenangkan kepada orang lain".
Saya pun jadi ingat, bahwa saya pun pernah jadi senior di suatu kampus. Lama sekali, dulu banget lah. Saya mengalami hal yang hampir sama dengan si A tadi. Tapi akhirnya saya memilih tidak melestarikan tradisi primitif tersebut. Saya memilih meninggalkan budaya organisasi yang kuno itu, walau dengan dalih apapun, alasan apapun sebagai kedok, serta polesan apapun sebagai jawaban kepada orang-orang yang tidak puas dengan sistem yang masih dipelihara tersebut.
Itulah doktrin yang tak bisa lepas dari pikiran, tanpa disadari sudah menjadi sebuah jawaban kenapa model-model acara tersebut masih bertahan. Padahal masih ada konsep yang lebih cerdas, merangsang otak untuk lebih bekerja. Bukan semata-mata menghajar mental, model keroyokan dan satu arah. Di mana ide, pendapat orang-orang baru dalam organisasi bisa lebih didengar dan dihargai. Dan akhirnya mereka pun merasa memiliki organisasi itu lebih erat, sebagai sebuah keluarga, bukan cuma sebuah struktur organisasi vertikal yang cuma berdasar AD/ART belaka.
Dan, 2 gelas es teh jumbo, 2 gelas kopi+ sebatang rokok saya bayarkan ke kasir :D , saya pun pulang meninggalkan mereka tadi, masih dengan tema obrolan yang sama...masih dengan tatapan ketakutan yang sama kepada saya...

2 komentar:

  1. nunggu kisah lain dengan judul "suatu siang di beberapa warteg"

    --kilurah--

    BalasHapus
  2. haha...
    mungkin gini om...
    "suatu siang di kantin arsitektur..."
    *note : penghuninya seger-seger :D

    BalasHapus