Suatu ketika saya pernah menulis opini saya, ya mungkin menuju ke arah kritik. Meski kritik itu saya akui sendiri tidak mempunyai arah, karena saya sendiri tidak tahu harus kemana saya sampaikan kritik tersebut. Namun saya mendapatkan respon yang luar biasa mengejutkan. Opini saya dibalas komen, lumayan lah, saya menanggapi komen tersebut sampai beberapa kali. Sampai saya bingung sendiri dan bertanya, apakah orang-orang ini lah sebenarnya yang jadi sasaran kritik saya.
Semakin saya mencermati berbagai respon yang pernah masuk, semakin saya tergelitik. Bagaimanakah seandainya saya menulis opini saya, langsung saya sebutkan nama orang atau organisasinya saja. Mungkin responnya bakal lebih heboh lagi. Dari situ saya bisa menarik sedikit kesimpulan, ternyata orang-orang yang pernah menyampaikann komen tersebut belum pernah mendapatkan suatu kritik, atau belum tahu bagaimana menerima sebuah kritik atau opini.
Meski memang respon tersebut adalah hak tiap orang untuk menentukan, bagaimana cara menjawab kritik, tapi caranya sendiri bisa menunjukkan bagaimana level intelektualitas tiap individunya. Apakah suatau kritik bisa dihadapi dengan logika dan akal sehat, tentunya dengan kepala dingin, atau ditanggapi dengan emosional. Hal ini juga bisa diambil kesimpulan, bagaimana seseorang tersebut bersikap kepada orang lain sehari-harinya. Apakah dia orang yang mudah bersahabat, menghormati orang lain atau orang egois yang gila hormat. Ya, mau ngapain juga terserah orangnya kan? Tapi kok ya masih menemui orang-orang emosional kaya gitu. Apa orang Surabaya memang kaya gitu? Moga saja tidak.
Mungkin selama ini saya bersikap, "Yah, diterima aja lah! Emang udah digariskan begitu..", tapi kadang saya menemui hal-hal lucu, yang kalau dipikir-pikir agak aneh. Untuk ukuran setingkat umur mahasiswa sekarang, saya kira umur yang sudah dibilang dewasa, menurut saya. Tapi pola pikir baik secara individu maupun dalam berorganisasi masih belum sinkron dengan levelnya. Kalau dibilang saya random mengambil contoh, iya benar. Tapi kelihatan sekali bahwa saya masih menemui orang-orang yang tak terima bila diberi opini berupa kritik.
Di sini saya belajar, kita semua belajar. Saya menerima bila ada tahapan dan proses dalam belajar. Tidak ada orang yang belajar langsung jadi pintar. Moga saja saya bisa terus belajar menerima kritik. Karena tanpa adanya kritik, saya tidak akan berkembang. Namun sebagai mahasiswa, saya berusaha menyampaikan kritik dengan lebih terarah, dan lebih intelek (menurut komentar seseorang :D ).
mas mana tulisan yang kena kritik?ak blom baca nie(¯―¯٥)..
BalasHapusWah, nggak setuju, mas.
BalasHapusOrang Surabaya nggak semuanya gitu kok.
Aku engga lho. :p
Bener,mas untuk proses belajar, kita juga harus mau nerima saran dan kritikan. Nggak cuma nerima pujian-pujian aja.
Buat bahan introspeksi kedepannya.
;)
ahahaha...
BalasHapusmasih kusimpan, kapan2 kupajang lagi buat kenang-kenangan...
kalo pas bawa leptop, ntar kuliatin pake akunku.. :D
btw, status2 kalian pada galau kecapean, abis ngapain?
@Gita : hihi, saya terlalu membuat stereotipe ya? maafkan kalo gitu...
BalasHapusYup, saran dan kritik ga akan melemahkan kita, justru membuat kita lebih baik lagi..
biasa..yg lama lg mainin yg baru
BalasHapusow...
BalasHapuskasitau lah kalo mo ada acara, pengen ngeliput ni...